Jakarta, 20.28
Disebuah kafe kemang, sudut selatan Kota Jakarta.
Duduk manis disamping bartender yang sedang asyik meracik flat white. Beberapa pasang bola mata menerjang tajam dengan senyuman mengulum nafsu dari sekelompok harim remaja.
"Gun,, udah atraksinya?"
"kenapa bosen emang?"
"Pengen di lihat keren ya sama anak2 belasan tahun itu?"
"woles...cuma pengen mereka bahagia aja malam ini.."
"ingat sama yang dirumah jun..."
Seruput pelan kopi hitam yang berada di atas meja. Pahit, namun tidak terlalu. racikan kopi yang baik adalah hilangnya rasa pahit di kopi tanpa ada tambahan gula di dalamnya. kata mereka. lidahku bukan lidah mereka. Pahit ya tetap pahit. Mana ada pahit jadi asam. Betulkan?
Otakku berjalan jauh mengitari waktu kembali ke masa berjuta menit yang lalu. Napouvah Suvajlikavh iya benar itu namanya. susah memang mengejanya. sebut saja dia Napsu. Wanita pirang bergelombang bermata hazel, berkulit putih, dengan tinggi kurang 2 cm dari pintu rumahku. iya benar dia. lalu kenapa? tidak ada yang istimewa sih, namun ada yang ingin aku ceritakan saja tentangnya.
Suatu malam di kafe ini, dimalam yang berbeda dan jam berbeda. Aku melihat seorang wanita yang kukenal. Seorang anak dari expatriate, yang besar dan tinggal sekota denganku. Perempuan yang sejak ku kenal 47 bulan yang lalu.
"Diluar hujan semakin deras, bawa payung?"
"Ini bulan apa?"
"November"
"Oh, kirain juni.."
"Emang kenapa dengan Hujan di Bulan Juni?"
"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tidak sempat di ucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu;
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada"
"Puisi?"
"iya."
"Bagus itu puisi-mu"
"Bukan, bukan punyaku"
"lalu..?"
"Itu milik Supardi Djoko Damono"
"Pacarmu..??"
Senyuman manis menggoda yang membalas pertanyaanku. Aku diam tanpa mengeluarkan kata kembali. Rasanya aku ingin mengetahui sosok pria seperti apa yang tiba-tiba meninggalkan sebuah puisi yang dihapal betul oleh perempuan di depan mataku ini. bukan cuma puisi, nama panjangnya pun dia hapal. "Aku tidak cemburu. Tidak!" ucap hatiku bergemuruh. "ya hanya, tersaingi" ungkapnya.
Sapardi, di tahun mmillennium ini masih adakah pria bernama sapardi di Kota ini?
"Pernah merasa ingin menjadi seseorang yang berbeda ga?"
"maksudnya?"
"seperti menemukan tujuan hidup"
"Engga. Kenapa?"
" I have thinking about a new life. When among us trying to learn the journey like a river, just going to passing by. never take concussion with another trouble"
Aku diam. Menyimak. dan berfikir.
"like you, i am guess it was so hard to be a great man, being great father someday, and a great friend, almost people trying to get an happiness in their life"
Aku kembali terdiam. Kembali menyimak, dan berfikir. Sayangnya, sekeras apapun aku berfikir, aku benar-benar tidak mengerti ucapannya. Dalam artian, aku benar-benar tidak tahu bahasa Inggris.
Kuputuskan untuk manggut-manggut. berusaha agar dikira mengerti dan paham dengan ucapannya.
Hujan pun berhenti sembarang, wanita itu bergerak keluar pintu, sedang aku masih menatap salah seorang perempuan muda belia, mengerakan tangan-nya menghitung uang kembalian pembayaran kopi malam ini.
"mba bisa lebih cepat?"
"sebentar mas"
"yaudah ambil aja kembaliannya mba.."
Kutinggalkan saja cepat-cepat perempuan muda dengan alis menukik keatas, bibir merah membara, dan eyeshadow yang hitam bergelam. Dia memanggilku dengan tiga kepingan 500 rupiah di tangannya. Maaf, aku ingin segera mengejar Napsu. Aku tidak ingin perjalanan pulangnya di ganggu oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
"Kamu suka dengerin lagu?"
"suka."
"jenis musik apa?"
"apa aja suka"
"Salah satunya?"
"Canon D Mayor"
"heh..??"
"Musik ochestra"
"ohh.. iya aku tahu kok.. Mozzart kan"
"Pachelbel.."
"Mozzart dan Pachelbel"
"Johann Pachelbel, bukan mozzart"
"oh maaf ingatanku lemah"
"termasuk kenangan?"
"Ingatan dan kenangan kan dalam satu harfiah waktu. Kamu juga mudah melupakan kenangan dong?"
"engga. Ingatanku lemah tapi aku tetap mengenang kejadian yang berarti kok. seperti malam ini"
"maksudnya?"
"Eh udah nyampe, itu rumahmu kan?"
"oia, oke thanks ya udah di beliin kopi dan dianter pulang"
"youre welcome, your highness"
Gerai rambut pirangnya bergerak halus menjauhiku. Sesaat perempuan itu hilang menyusup gerbang pintu rumahnya.
Cerita malam ini aku sambung lagi besok. Segera turn off macbook usangku. Kopi hitam yang dibuat Gun pun ludes, hanya tersisa cangkirnya. Arloji menunjukan pukul 23.11 WIB Aku harus segera kembali pulang sebelum tengah malam. Jika tidak, sihirnya hilang.
Saya suka minum kopi, kamu boleh traktir saya kapan-kapan. Tapi, tanpa sianida ya. *keselek biji kopi*
Disebuah kafe kemang, sudut selatan Kota Jakarta.
Duduk manis disamping bartender yang sedang asyik meracik flat white. Beberapa pasang bola mata menerjang tajam dengan senyuman mengulum nafsu dari sekelompok harim remaja.
"Gun,, udah atraksinya?"
"kenapa bosen emang?"
"Pengen di lihat keren ya sama anak2 belasan tahun itu?"
"woles...cuma pengen mereka bahagia aja malam ini.."
"ingat sama yang dirumah jun..."
Seruput pelan kopi hitam yang berada di atas meja. Pahit, namun tidak terlalu. racikan kopi yang baik adalah hilangnya rasa pahit di kopi tanpa ada tambahan gula di dalamnya. kata mereka. lidahku bukan lidah mereka. Pahit ya tetap pahit. Mana ada pahit jadi asam. Betulkan?
Otakku berjalan jauh mengitari waktu kembali ke masa berjuta menit yang lalu. Napouvah Suvajlikavh iya benar itu namanya. susah memang mengejanya. sebut saja dia Napsu. Wanita pirang bergelombang bermata hazel, berkulit putih, dengan tinggi kurang 2 cm dari pintu rumahku. iya benar dia. lalu kenapa? tidak ada yang istimewa sih, namun ada yang ingin aku ceritakan saja tentangnya.
Suatu malam di kafe ini, dimalam yang berbeda dan jam berbeda. Aku melihat seorang wanita yang kukenal. Seorang anak dari expatriate, yang besar dan tinggal sekota denganku. Perempuan yang sejak ku kenal 47 bulan yang lalu.
"Diluar hujan semakin deras, bawa payung?"
"Ini bulan apa?"
"November"
"Oh, kirain juni.."
"Emang kenapa dengan Hujan di Bulan Juni?"
"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tidak sempat di ucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu;
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada"
"Puisi?"
"iya."
"Bagus itu puisi-mu"
"Bukan, bukan punyaku"
"lalu..?"
"Itu milik Supardi Djoko Damono"
"Pacarmu..??"
Senyuman manis menggoda yang membalas pertanyaanku. Aku diam tanpa mengeluarkan kata kembali. Rasanya aku ingin mengetahui sosok pria seperti apa yang tiba-tiba meninggalkan sebuah puisi yang dihapal betul oleh perempuan di depan mataku ini. bukan cuma puisi, nama panjangnya pun dia hapal. "Aku tidak cemburu. Tidak!" ucap hatiku bergemuruh. "ya hanya, tersaingi" ungkapnya.
Sapardi, di tahun mmillennium ini masih adakah pria bernama sapardi di Kota ini?
"Pernah merasa ingin menjadi seseorang yang berbeda ga?"
"maksudnya?"
"seperti menemukan tujuan hidup"
"Engga. Kenapa?"
" I have thinking about a new life. When among us trying to learn the journey like a river, just going to passing by. never take concussion with another trouble"
Aku diam. Menyimak. dan berfikir.
"like you, i am guess it was so hard to be a great man, being great father someday, and a great friend, almost people trying to get an happiness in their life"
Aku kembali terdiam. Kembali menyimak, dan berfikir. Sayangnya, sekeras apapun aku berfikir, aku benar-benar tidak mengerti ucapannya. Dalam artian, aku benar-benar tidak tahu bahasa Inggris.
Kuputuskan untuk manggut-manggut. berusaha agar dikira mengerti dan paham dengan ucapannya.
Hujan pun berhenti sembarang, wanita itu bergerak keluar pintu, sedang aku masih menatap salah seorang perempuan muda belia, mengerakan tangan-nya menghitung uang kembalian pembayaran kopi malam ini.
"mba bisa lebih cepat?"
"sebentar mas"
"yaudah ambil aja kembaliannya mba.."
Kutinggalkan saja cepat-cepat perempuan muda dengan alis menukik keatas, bibir merah membara, dan eyeshadow yang hitam bergelam. Dia memanggilku dengan tiga kepingan 500 rupiah di tangannya. Maaf, aku ingin segera mengejar Napsu. Aku tidak ingin perjalanan pulangnya di ganggu oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
"Kamu suka dengerin lagu?"
"suka."
"jenis musik apa?"
"apa aja suka"
"Salah satunya?"
"Canon D Mayor"
"heh..??"
"Musik ochestra"
"ohh.. iya aku tahu kok.. Mozzart kan"
"Pachelbel.."
"Mozzart dan Pachelbel"
"Johann Pachelbel, bukan mozzart"
"oh maaf ingatanku lemah"
"termasuk kenangan?"
"Ingatan dan kenangan kan dalam satu harfiah waktu. Kamu juga mudah melupakan kenangan dong?"
"engga. Ingatanku lemah tapi aku tetap mengenang kejadian yang berarti kok. seperti malam ini"
"maksudnya?"
"Eh udah nyampe, itu rumahmu kan?"
"oia, oke thanks ya udah di beliin kopi dan dianter pulang"
"youre welcome, your highness"
Gerai rambut pirangnya bergerak halus menjauhiku. Sesaat perempuan itu hilang menyusup gerbang pintu rumahnya.
Cerita malam ini aku sambung lagi besok. Segera turn off macbook usangku. Kopi hitam yang dibuat Gun pun ludes, hanya tersisa cangkirnya. Arloji menunjukan pukul 23.11 WIB Aku harus segera kembali pulang sebelum tengah malam. Jika tidak, sihirnya hilang.
Saya suka minum kopi, kamu boleh traktir saya kapan-kapan. Tapi, tanpa sianida ya. *keselek biji kopi*
No comments:
Post a Comment
Silakan comment, curhat, kritik, dan saran disini. Gratis.